Kemiskinan di Rezim Zionis Israel

Mungkin selama ini anda belum pernah mendengar bagaimana kehidupan warga Israel di negaranya. Atau mungkin anda pernah mendengar seperti apa kehidupan mereka, tapi hanya yang bagusnya saja. Ternyata Israel memiliki kendala ekonomi dalam sistem pemerintahan mereka. Rezim yang selalu menindas masyarakat Palestina ini tidak dapat mensejahterakan rakyatnya sendiri.
Kantor Berita Qods (Qodsna) mengutip dari Pusat riset Taub melaporkan, Israel di antara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memiliki angka kemiskinan tertinggi. Israel sejak Desember 2010 bergabung dengan OECD.
Organisasi ini setiap tahun merilis laporan mengenai kemiskinan di negara anggota. Sejak Israel menjadi anggota OECD, Tel Aviv mencatat angka kemiskinan tertinggi di antara negara anggota.
Kemiskinan di Israel mencakup keluarga yang memiliki penghasilan di bawah 821 dolar perbulan. Berdasarkan data yang dirilis lembaga asuransi nasional Israel yang dirilis di akhir tahun 2016, lebih dari 1,7 juta warga Israel atau setara dengan 21,7 persen adalah kalangan miskin.
Artinya dari setiap lima warga Israel, satu orang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini mencakup 460 ribu keluarga dan 764.200 anak-anak. Berdasarkan laporan tersebut, jumlah keluarga Israel yang hidup di bawah garis kemiskinan dari 18,8 persen di tahun 2014 naik menjadi 19,1 persen di tahun 2015.
Pertanyaannya di sini adalah, apa yang menyebabkan angka kemiskinan di bumi Palestina pendudukan naik drastis?
Tak diragukan lagi, faktor utama yang mendorong naiknya kemiskinan di bumi Palestina pendudukan adalah kebijakan haus perang kabinet Israel. Pengembangan ekonomi di langkah pertama membutuhkan stabilitas, baik di dalam maupun di tingkat regional. Instabilitas dan kekacauan di kawasan juga berpengaruh terhadap stabilitas dan keamanan di dalam wilayah sebuah negara.
Israel salah satu pemain utama kekacauan di kawasan Timur Tengah. Salah satu indikasi penting adalah pengobaran tiga perang terhadap Gaza dan Hizbullah selama sembilan tahun terakhir, yakni di tahun 2008, 2012 dan 2014. Bagaimana pun juga Israel sejak Oktober 2015 hingga kini juga mengalami intifada bangsa Palestina anti Tel Aviv.
Meski Israel sejak tahun 2014 hingga kini tidak mengobarkan perang terhadap Jalur Gaza dan Hizbullah, namun berulang kali Tel Aviv terlibat perang di Suriah dan membombardir berbagai wilayah negara ini. Selain itu, kebijakan perang baru juga menjadi prioritas utama kabinet Netanyahu, di mana implementasi kebijakan ini membutuhkan dana besar.
Dalam hal ini, di keputusan terbaru militer Israel disebutkan akan melakukan perubahan penting bagi pelatihan praktis militernya degan membangun pusat latihan di utara Palestina pendudukan. Menurut sumber Zionis anggara program ini sekitar 400 juta dolar. Padahal Israel selama dua tahun lalu juga membangun lebih dari 40 pusat latihan perang berskala kecil.
Dampak terpenting dari kebijakan perang ini adalah tidak adanya jaminan keamanan investasi dan kecondongan para investor untuk lari dari bumi Palestina serta pemangkasan anggaran sosial serta kesejahteraan sosial guna memenuhi anggaran militer serta perang. Defisit anggaran rezim Zionis juga termasuk dari dampak langkah haus perang.
Dalam hal ini, kabinet Netanyahu di tahun ini untuk menutupi defisit anggaran, dilaporkan telah menaikkan pajak. Hal ini juga mendorong tekanan lebih besar kepada warga Zionis.